Sabtu, 17 Desember 2011
Anakku Berubah Menjadi Buaya
Kisah ini ditulis berdasarkan kesaksian Supena, yang dituturkan bebera waktu silam. Kejadiannya berlangsung saat Supena menjebat seketris desa atau juru tulis di sebuah desa yang terletak di kecamatan Pusakanegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Lelaki itu semakin hari semakin menderita setelah ditinggal anak perempuannya. Anaknya yang baru berusia lima tahun itu merenggut ajal di pinggir sungai Cipunagara.
Sejak kehilangan sang anak, Dirta, si lelaki itu, selalu melamun di tepi sungai Cipunagara, dan terkadang dia bicara sendirian lalu tersenyum. Begitulah hari-hari yang dilewati Dirta semenjak empat bulan yang lalu ditinggal mati anak perempuan semata wayangnya. Rasa menyesal di hatinya membuat goncangan hebat di dalam jiwanya.
Bermula dari kemarau panjang, menjelang akhir tahun. Karena kondisi perekonomian yang sulit, banyak warga yang terpaksa makan nasi aking. Kejahatan pun semakin merebak di berbagai perkampungan penduduk.
Kebiasaan mencuri, merampok disertai penganiayaan kepada korban bukan kejadian aneh lagi ketika itu. Aku sebagai juru tulis alias sekdes cukup kewalahan menerima pengaduan dari masyarakat yang menyangkut pencurian, bakik hewan ternak maupun harta benda lainnya yang melanda warga desa. Tak terhitung pula laporan mengenai warga yang busung lapar dan terkena penyakit menular singgah di meja kerjaku yang sudah lapuk.
Begitu banyak laporan itu dan sejujurnya saja sulit untuk ditindak lanjuti mengingat kapasitasku yang hanya sebagai sekertaris desa. Namun dari semuanya, hanya ada satu laporan dari warga yang aku angap menarik untuk ditindak lanjuti, yakni tentang kematian bocah berumur lima tahun yang mati tenggelam di sungai Cipunagara ketika sedang mencari capung dengan teman-temannya.
Hari masih pagi, dan kayuh sepeda tuaku menuju rumah warga yang bernama Dirta. Ada beberapa orang hadir menyambut kedatanganku. Aku mengira jasad bocah itu langsung akan dimakamkan, tetapi setelah diperhatikan wajah-wajah yang menyambutku tampak kebingungan dan mengeluh.
“Jasadnya belum diketemukan, Pa Ulis!” Bisik salah seorang kepadaku.
“Memang kejadiannya kapan?” Tanyaku.
“Kemarin sore, menjelang maghrib,” jawabnya.
“Ada bukti atau saksi saat kejadian anak si Dirta tenggelam?” Tanyaku kepada ketua RT.
“Ada Pa Ulis, temannya, anak Ropiah. Dia menangis pulang sambil membawa sepasang sandal anak si Dirta. Dia memberitahukan kejadiannya kepada Bapaknya,” papar ketua RT.
Aku merenung sejenak, lantas aku perintahkan semua lelaki menyisir pinggiran sungai Cipunagara menuju ke hilir mumpung hari masih pagi. Aku pun turut serta mencari bersama-sama masyarakat. Tidak sejengkalpun terlewati dari tatapan mata para pencari jasad anaknya Dirta.
Rerimbunan alang-alang dan semak-semak yang tumbuh subur di pinggiran sungai Cipunagara tidak luput dari buruan pencari jasad anak perempuan si Dirta. Teriakan-teriakan memanggil nama korban menambah hiruk-pikuk suasana saat itu.
Menjelang Dzuhur, pencarian masih tetap nihil namun semangat warga masih menggebu-gebu untuk mendapatkan korban. Seingatku hampir semua lelaki yang ada di kampung Kedung Jati turun ikut mencari. Menjelang Maghrib, pencarian dihentikan.
Seluruh masyarakat berkumpul di rumah Dirta untuk bermusyawarah mencari solusi apa yang harus dilakukan guna mendapatkan kembali jasad anak perempuannya. Kalau melihat keadaan sungai Cipunangara saat itu, airnya kecil hampir tidak berarus, ini biasa tiap tahunnya bila musim kemarau, maka tidak mungkin rasanya jasad anak perempuan si Dirta sudah jauh terseret arus. Ya, mustahil sekali.
Saat kebuntuan datang, tiba-tiba salah seorang warga berkata, “Pak Ulis, bagaimana kalau kita memanggil malim buaya (pawang buaya)?”
“Boleh saja. Siapa di antara kalian yang tahu orangnya?” Tanyaku.
“Ada orangnya, tapi bukan orang desa sini. Jauh, Pak Ulis,” ucapnya.
“Dimana?” Tanyaku penasaran.
“Di Haurgeulis. Tapi bisa dipanggil kesini!” Jawabnya.
“Ya sudah, besok saja karena sekarang sudah malam,” ucapku.
Esok paginya, salah seorang kuperintahkan berangkat ke Haurgeulis. Sambil menunggu sang pawang buaya datang, yang ada kuperintahkan untuk turun kembali mencari jasad yang tenggelam. Siapa tahu sekarang sudah dapat timbul atau mengambang di permukaan air.
Sementara itu, Dirta tidak henti-hentinya menangis sambil berteriak-teriak memanggil anaknya yang tenggelam dua hari lalu. Semenjak bercerai dengan isterinya setahun yang lalu, anaknya itu memang ikut denganya, sedangkan isterinya pulang ke orangtuanya.
Sampai menjelang Dzuhur, yang kuperintahkan ke Haurgeulis belum juga datang. Aku dengan bersabar menunggu di pinggir sungai Cipunagara sambil memperhatikan orang-orang yang sedang mencari jasad anaknya si Dirta.
Memang bila musim kemarau, airnya dangkal hanya sebatas lutut hingga perut orang dewasa. Tetapi ada lokasi-lokasi tertentu yang dipercaya masyarakat di sekitar Cipunagara menyebutnya Kedung (lubang besar dibawah air) yang cukup dalam. Tempat ini adalah lokasi bersemayam makhluk halus, penunggu atau penghuni kerajaan siluman air sungai Cipunagara. Ya, sungai Cipunagara yang membentang dari selatan ke utara itu memang menyimpan mitos daerah-daerah yang dilaluinya. Mulai dari wilayah Kabupaten Sumedang, sampai ke hilir di wilayah Pamanukan, Kabupaten Subang.
Mitos-mitos bermunculan seperti kisah sepasang pengantin di larang menyeberang sungai Cipunagara, atau orang diluar wilayah tersebut janga mandi di sungai itu. Dan memang, mitos itu berlaku hingga sekarang dan terbukti ada yang jadi korban.
Masyarakat sepanjang sungai ketika penumpasan G30S/PKI hampir setiap hari menguburkan mayat-mayat yang mengambang dari hulu menuju hilir, dalam keadaan tidak utuh lagi. Ada yang tangannya hilang atau kepalanya tidak ada, isi perutnya kosong dan alat vital hilang, dan banyak lagi.
Ba’da Ashar, pawing buaya yang ditunggu akhirnya datang. Aku selesai shalat Ashar di surau tidak jauh dari rumah Dirta. Sebelum terjun ke lokasi, Dirta dipanggil ke surau. Orang yang dipanggil Abah dengan keahlian pawang buayanya itu meminta Dirta untuk menceritakan awal kejadianya.
Kadang-kadang aku dan warga ikut nimbrung untuk melengkapi cerita Dirta. Sesekali pria setengah baya bertubuh kecil yang dipanggil Abah itu manggut-manggut, dengan mulut komat-kamit dan matanya dipejamkan beberapa saat.
“Dirta, anakmu ada di suatu tempat yang aman. Makan dan minum disediakan,” Ucap Abah sambil tersenyum.
Semua yang hadir saat itu senang mendengarnya.
“Tetapi anak itu bukan di alam manusia!”Demikian tegas Abah.
Suasana hening dan tegang. Apalagi, Dirta ingin segera Abah melanjutkan ucapannya.
“Anakmu ada didunia yang tidak tampak oleh mata sembarangan orang. Persisnya dia ada di alam lelembut penguasa kerajaan Kedung Cipunagara,” terang Abah.
“Apakah bisa diambil kembali, Abah?” Tanyaku.
“Bisa!” Jawab Abah, singkat.
“Tetapi nanti bila kita kesana. Abah minta kepada Dirta, apa yang ada di depan matamu harus diakui. Ingat itu!” Ujar Abah memperingatkan Dirta.
“Baiklah, Abah!” Ucap Dirta.
Abah melanjutkan lagi ucapannya, seraya sepasang matanya melihat orang-orang yang ikut riungan saat itu, “Abah minta seorang saksi dari pihak aparat desa sini. Apakah ada?” Tanyanya.
“Ada, Bah. Pak Ulis Supena ini!” Jawab beberapa warga serempak menunjukku.
“Pak Ulis siap jadi saksi?” Tanya Abah.
“Insya Allah siap, Bah!” Jawabku, singkat.
“Nanti kita bertiga…Abah, Dirta dan Pak Ulis berangkat ke raja penguasa Kedung Cipunagara, supaya anak Dirta dikembalikan. Tetapi seperti yang sudah Abah katakan, apapun yang kamu lihat di sana harus diakui. Mengerti, Dirta?” Abah menerangkan sambil mengingatkan kembali kepada Dirta.
Dirta mengangguk, “Ya, Bah!” Tegasnya.
Setelah semua siap, kami berangkat menuju sungai Cipunagara. Warga mengikuti dari belakang, ingin menyaksikan apa yang akan terjadi. Aku sedikit tegang, juga bertanya-tanya di dalam hati, apa yang akan dilakukan sang pawang buaya ini?
Abah menyuruh yang lain agar menunggu saja di bibir sungai. Sementara aku dan Dirta disuruh turun ke air. Sang pawang dengan diapit oleh aku dan Dirta. Tangan kananku dipegang erat-erat oleh tangan kiri Abah, dan tangan kiri Dirta dipegang erat-erat oleh tangan kanan Abah.
Kami disuruh menghadap ke tengah sungai lalu memejamkan mata, dan diminta jangan sekali-kali membukanya sebelum ada perintah dari Abah. “Jangan pula kalian menengok ke belakang!” Pesan Abah.
Entah berapa lama berlalu, kudengar Abah berucap agar kami segera membuka mata. Aneh, saat aku membuka mataku, yang di hadapanku bukan lagi air sungai Cipunagara, melainkan jalan lurus dengan bunga-bunga tumbuh di sampingnya. Indah sekali. Rumah-rumah berderet tertata rapi, bersih tidak ada sampah.
Sepanjang jalan yang kami, lalui aku tidak henti-hentinya berdecak kagum di dalam hati menyaksikan keanehan dan keindahan yang tampak di depan mata. Waktu itu kami juga berpapasan dengan sejumlah penduduk yang ramah-ramah, selalu mengangguk dan tersenyum saat berpapasan dijalan dengan kami.
Uniknya, pakaian yang dikenakan sama warnanya, hitam. Kepala mereka juga memakai ikat warna hitam pula, baik perempuan maupun laki-laki.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar